Cerdas-yes!!- Apendisitis adalah peradangan pada apendiks, sebuah organ kecil yang terletak di ujung usus buntu. Kondisi ini sering kali memerlukan intervensi cepat, dan peran perawat sangat penting dalam memberikan asuhan keperawatan yang optimal kepada pasien dengan apendisitis. Berikut adalah tinjauan teoritis tentang keperawatan pada kasus apendisitis.
"Ilustrasi: Apendisitis" |
A. Pengertian
Apendisitis adalah infeksi pada umbai cacing, di mana dalam beberapa kasus, penyakit ini dapat sembuh tanpa perawatan. Namun, banyak juga kasus yang memerlukan tindakan laparotomy untuk mengangkat umbai cacing yang terinfeksi. Jika tidak diobati, apendisitis dapat berakibat fatal karena menyebabkan peritonitis dan shock saat umbai cacing yang terinfeksi mengalami kerusakan. Apendisitis terjadi akibat peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks), yang dapat menyebabkan pembentukan pus dan bahkan pecahnya usus buntu. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya tumpul dan menonjol dari awal usus besar atau sekum, terletak di bagian kanan bawah perut dengan ukuran sekitar sejari kelingking. (Sugeng dan Weni, 2012).
Apendisitis adalah peradangan
pada apendiks atau umbai cacing. Sekitar 7% dari populasi diperkirakan akan
mengalami apendisitis pada suatu titik dalam hidup mereka. Pria memiliki
kecenderungan lebih tinggi untuk terkena apendisitis dibandingkan wanita.
Kondisi ini lebih sering terjadi pada rentang usia 10 hingga 30 tahun (Rudi H,
2012).
Inflamasi pada apendiks, yang
dikenal sebagai apendisitis, dapat terjadi tanpa penyebab yang jelas, setelah
terjadi sumbatan oleh tinja pada apendiks, atau karena terpuntirnya apendiks
(Elizabeth, 2008).
B. Etiologi
Apendisitis umumnya disebabkan
oleh infeksi bakteri, meskipun terdapat berbagai faktor pemicu penyakit ini.
Beberapa di antaranya mencakup obstruksi pada lumen apendiks yang dapat
disebabkan oleh penumpukan fekalit atau tinja yang mengeras, hiperplasia
jaringan limfoid, infeksi cacing atau parasit, keberadaan benda asing dalam
tubuh, kanker primer, dan striktur. Namun, penyumbang paling umum terhadap
obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid
(Sugeng dan Weni, 2012).
Studi epidemiologi menunjukkan
bahwa kebiasaan pola makan yang rendah serat dan pengaruh konstipasi berperan
dalam timbulnya apendisitis. Konstipasi dapat meningkatkan tekanan
intraabdominal, menyebabkan sumbatan fungsional pada apendiks, dan
mempromosikan pertumbuhan bakteri kolon normal. Obstruksi ini meningkatkan tekanan
intraluminal dan perkembangan bakteri. Selain itu, terjadi peningkatan kongesti
dan penurunan perfusi pada dinding apendiks yang berujung pada inflamasi. Pada
tahap ini, pasien akan mengalami nyeri di sekitar periumbilikal. Seiring
berlanjutnya proses inflamasi, eksudat akan terbentuk pada permukaan serosa
apendiks. Ketika eksudat ini berinteraksi dengan peritoneum parietal,
intensitas nyeri khas akan muncul (Arif Muttaqin dan Kumala Sari, 2011).
C. Patofisiologi
Apendiks mengalami inflamasi dan
edema sebagai hasil dari lipatan atau penyumbatan apendiks, kemungkinan oleh
fekolit atau benda asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal,
menyebabkan nyeri abdomen atas yang kemudian dapat menyebar dengan cepat atau
progresif, dalam beberapa jam berkumpul di kuadran kanan bawah abdomen.
Akhirnya, apendiks yang mengalami inflamasi akan mengandung pus (Sugeng dan
Weni, 2012).
Menurut Rudi (2012), apendisitis umumnya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks. Obstruksi ini mengakibatkan penumpukan lendir yang diproduksi oleh mukosa apendiks. Seiring berjalannya waktu, penumpukan lendir semakin bertambah, tetapi elastisitas dinding apendiks memiliki batas sehingga tekanan dalam lumen meningkat. Tekanan ini akan memperbesar aliran limfe, menyebabkan edema dan ulserasi pada mukosa. Pada titik ini, apendisitis akut fokal terjadi, yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium. Jika penumpukan lendir berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal ini dapat menyebabkan obstruksi vena, peningkatan edema, dan penetrasi bakteri melalui dinding, menyebabkan peradangan yang merambat dan memengaruhi peritoneum. Ini dapat menghasilkan nyeri pada bagian kanan bawah perut yang dikenal sebagai apendisitis supuratif akut.
D. Manifestasi Klinis
Apendisitis memiliki gejala
kombinasi yang khas, termasuk mual, muntah, dan nyeri hebat di bagian kanan
bawah perut. Nyeri dapat tiba-tiba muncul di perut bagian atas atau sekitar
pusar, diikuti oleh mual dan muntah. Beberapa jam kemudian, mual mereda dan
nyeri berpindah ke bagian kanan bawah perut. Tekanan dokter pada daerah ini
dapat menyebabkan nyeri tumpul, dan jika tekanan dilepaskan, nyeri dapat
menjadi lebih tajam. Demam dapat mencapai 37,8 – 38,8°C. Pada bayi dan
anak-anak, nyeri dapat dirasakan di seluruh bagian perut. Pada orang tua dan
wanita hamil, nyeri tidak terlalu berat, dan rasa tumpul di daerah tersebut
tidak begitu terasa. Jika usus buntu pecah, nyeri dan demam dapat meningkat.
Jika infeksi semakin parah, dapat menyebabkan syok (Sugeng dan Weni, 2012).
E. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis apendisitis, penilaian didasarkan pada anamnesis bersama dengan pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya. Gejala apendisitis dapat dipastikan melalui anamnesis, dengan empat aspek yang penting. Pertama, munculnya nyeri awal di daerah epigastrium yang kemudian merambat ke bagian kanan bawah perut. Kedua, muntah yang disebabkan oleh nyeri vaseral. Ketiga, adanya demam, yang mungkin disebabkan oleh pertumbuhan bakteri di dinding usus. Keempat, pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya dapat memberikan konfirmasi lebih lanjut terkait dengan diagnosis apendisitis. Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita Nampak sakit, menghindarka pergerakan, diperut terasa nyeri.
1. Pemeriksaan Lokalisasi Lainnya:
Jika terjadi perforasi, nyeri akan menyebar ke seluruh perut, tetapi titik nyeri paling khas adalah daerah titik McBurney. Pada tahap infiltrasi, infeksi lokal dapat terasa seperti adanya massa di titik McBurney.
2. Tes Rektal:
Pada pemeriksaan rektal, teraba benjolan, dan pasien merasakan nyeri pada daerah prolitotomi. Peningkatan jumlah leukosit dalam pemeriksaan laboratorium dapat terjadi sebagai respons fisiologis terhadap serangan mikroorganisme. Pada apendisitis akut dan perforasi, leukositosis dapat lebih tinggi. Hemoglobin (Hb) umumnya tetap normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada apendisitis infiltrate. Pemeriksaan urine rutin penting untuk mendeteksi infeksi ginjal. Pemeriksaan radiologi pada foto biasanya tidak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut, kecuali pada kasus peritonitis. Namun, kadang-kadang dapat ditemukan gambaran seperti sedikit cairan dan udara, serta keberadaan fekolit (sumbatan). Pada perforasi, terlihat udara bebas dalam diafragma.
F. Penatalaksanaan
Penanganan pasien dengan
apendisitis akut melibatkan terapi medis dan terapi bedah. Terapi medis
biasanya diberikan kepada pasien yang tidak dapat mengakses layanan bedah,
dengan pemberian antibiotik sebagai komponen utamanya. Namun, sebuah penelitian
prospektif menunjukkan bahwa apendisitis dapat kembali muncul beberapa bulan
kemudian pada pasien yang hanya menerima terapi medis. Terapi medis juga
bermanfaat bagi pasien dengan apendisitis yang memiliki risiko operasi tinggi
(Rudi H, 2012).
Pembedahan dianjurkan setelah diagnosis apendisitis ditegakkan. Antibiotik dan cairan intravena diberikan hingga pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosis dikonfirmasi. Apendektomi, tindakan bedah untuk mengangkat apendiks, sebaiknya dilakukan sesegera mungkin untuk mengurangi risiko perforasi. Prosedur ini dapat dilakukan dengan anestesi umum atau spinal, dengan insisi pada bagian bawah perut, atau melalui laparoskopi, metode yang sangat efektif dan terbaru (Sugeng dan Weni, 2012).
Daftar Pustaka:
Sugeng Jitowiyono.Ns.Skep dan
Weni Kristianasari,Ns.Skep (2012) Asuhan Keperawatan Post Operasi. Yogyakarta:
Nuha Medika,
Rudi Haryono (2012)
Keperawatan Medikal Bedah System Pencernaan. Yogyakarta: Gosyen Publishing
Elizabeth J. Corwin, PhD,MSN,CNP (2007) Buku Saku
Patofisiologi, penerbit buku krdokteran, ECG
Arif Muttaqin dan Kumala Sari (2011)
Gangguan Gastrointestinal. Jakarta: Selemba Medika.
Jika tidak suka menahan atau menunda bab bisa jadi ke usus buntu kak. ?
ReplyDeleteMenahan BAB dapat menyebabkan penumpukan feses dalam usus, hal ini dapat meningkatkan risiko peradangan pada usus buntu.
ReplyDeleteselain itu menahan bab juga dapat menimbulkan penyakit lain, seperti sembelit, ambien, dan yang lebih buruknya dapat menghilangkan sensasi dan kemampuan dalam mengeluarkan feses, sehingga jadi tidak terkontrol.