Cerdas-yes!!- Dalam
mempelajari keperawatan jiwa, penting untuk menyadari bahwa kesehatan mental
tidak hanya mencakup ketiadaan penyakit mental, tetapi juga melibatkan
kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial seseorang. Perawatan jiwa
mencakup berbagai aspek, mulai dari dukungan emosional dan psikososial hingga
penggunaan terapi dan intervensi medis yang tepat.
"Ilustrasi: Kesehatan Mental" |
Kesehatan jiwa bagi manusia
mencakup terwujudnya keharmonisan fungsi jiwa, kemampuan menghadapi masalah,
merasakan kebahagiaan, dan memiliki ketangguhan diri. Seseorang dianggap sehat
jiwa jika mampu menyesuaikan diri dengan baik terhadap diri sendiri, orang
lain, masyarakat, dan lingkungan sekitar. Manusia sendiri terdiri dari aspek
bio, psiko, sosial, dan spiritual yang saling berinteraksi dan memengaruhi satu
sama lain.
Konsep sehat (health) merupakan
suatu konsep yang kompleks dan sulit untuk diartikan secara pasti, meskipun
dapat dirasakan dan diamati dalam keadaan tertentu. Terdapat variasi pandangan
terkait sehat, di mana seseorang yang berpostur 'gemuk' mungkin dianggap sehat,
sementara orang dengan keluhan kesehatan dianggap tidak sehat. Pemahaman dan
pengertian mengenai konsep sehat dipengaruhi oleh faktor subjektifitas dan
kultural.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
merumuskan sehat dalam arti kata yang luas, menyatakan bahwa sehat adalah
keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental, maupun sosial. Dalam definisi
ini, kesehatan tidak hanya mencakup kemerdekaan dari penyakit, tetapi juga
melibatkan aspek-aspek lain seperti kebugaran mental dan kesejahteraan sosial.
Pendekatan ini menekankan pentingnya keseimbangan holistik dalam menjaga
kesehatan, melibatkan tidak hanya tubuh, tetapi juga pikiran dan interaksi
sosial.
Kesehatan fisik telah lama
menjadi fokus perhatian manusia, namun penting untuk diingat bahwa manusia
adalah makhluk holistik yang terdiri tidak hanya dari dimensi fisik, tetapi
juga mental dan sosial yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara kesehatan
fisik dan kesehatan mental telah diakui, seperti yang ditunjukkan oleh
penelitian Hall dan Goldberg pada tahun 1984 yang dikutip oleh Notosoedirjo
(2005). Mereka menemukan bahwa pasien yang mengalami sakit secara fisik
seringkali menunjukkan gangguan mental seperti depresi, kecemasan, sindrom otak
organik, dan sebagainya.
Terdapat tiga kemungkinan
hubungan antara sakit secara fisik dan mental. Pertama, seseorang dapat
mengalami sakit mental akibat dari kondisi fisik yang tidak sehat. Kondisi
fisik yang buruk dapat menyebabkan stres dan tekanan, yang pada gilirannya
dapat memicu gangguan mental seperti depresi atau kecemasan. Kedua, sakit fisik
yang dialami seseorang dapat sebenarnya menjadi gejala dari adanya gangguan
mental yang mendasarinya. Misalnya, kondisi fisik yang tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya oleh faktor-faktor medis dapat terkait dengan gangguan mental yang
mendasari. Ketiga, hubungan timbal balik antara gangguan mental dan fisik, di
mana kondisi fisik yang buruk dapat memperburuk kesehatan mental, dan
sebaliknya, gangguan mental dapat memperparah sakit fisik.
Penting untuk memahami dan memperhatikan kesehatan secara holistik, memperlakukan tubuh, pikiran, dan aspek sosial sebagai satu kesatuan yang saling terkait dan memengaruhi satu sama lain.
B. Kriteria Sehat Jiwa
Ada berbagai pendapat tentang jiwa yang sehat, yaitu karena tidak sakit, tidak jatuh sakit akibat stressor, sesuai dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungan, dan mampu tumbuh berkembang secara positif (Notosoedirjo dan Latipun, 2005).
1. Sehat jiwa karena tidak mengalami gangguan jiwa.
Praktisi psikologi menyoroti bahwa individu yang dianggap sehat jiwa adalah mereka yang mampu melawan dampak buruk dari gangguan jiwa dan tidak mengalami masalah psikologis. Mereka yang mengalami neurosa atau psikosa dianggap tidak memiliki kesehatan jiwa. Menurut Vaillant (1976), yang dikutip oleh Notosoedirjo (2005), kesehatan jiwa diartikan sebagai "kehadiran penyesuaian yang berhasil atau ketiadaan psikopatologi (gangguan dalam bidang psikologis, emosional, perilaku, dan sosial)". Definisi ini bersifat dikotomis, menyatakan bahwa seseorang dianggap sehat jiwa jika tidak mengalami gangguan psikis sedikit pun, dan sebaliknya dianggap tidak sehat jiwa jika terdapat gangguan. Dengan kata lain, kesehatan dan penyakit jiwa diukur secara nominal.
2. Sehat jiwa jika tidak sakit akibat adanya stressor
Clausen memandang kesehatan jiwa dengan cara yang berbeda dari klinisi klasik. Baginya, seseorang dianggap sehat jiwa jika mampu mengatasi tekanan tanpa jatuh. Ini menyoroti kemampuan individu dalam menanggapi tantangan lingkungan, dengan setiap orang memiliki tingkat kerentanan yang berbeda terhadap stres karena faktor genetik, pembelajaran, dan budaya. Selain itu, perbedaan intensitas stres yang diterima oleh setiap individu membuat sulit untuk menilai seberapa tahan mereka terhadap tekanan.
3. Sehat jiwa jika sejalan dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungan
Michael dan Kirk Patrick menganggap bahwa seseorang dianggap sehat jiwa jika tidak mengalami gejala psikiatris dan dapat berfungsi secara optimal dalam lingkungan sosialnya. Kesehatan jiwa ditandai dengan kesesuaian individu dengan kapasitas dirinya sendiri dan kemampuannya untuk hidup secara harmonis dengan lingkungannya.
4. Sehat jiwa karena tumbuh dan berkembang secara positif
Frank LK menyajikan
definisi kesehatan jiwa yang lebih komprehensif. Menurutnya, seseorang dianggap
sehat jiwa jika mampu mengalami pertumbuhan, perkembangan, dan kedewasaan dalam
hidupnya. Hal ini mencakup kemampuan menerima tanggung jawab, menemukan
penyesuaian dalam berpartisipasi dalam menjaga norma sosial, serta bertindak
sesuai dengan nilai budayanya.
Menurut WHO,
seseorang dianggap sehat mental jika memiliki ciri-ciri berikut:
1. Mampu
menyesuaikan diri secara konstruktif dengan realitas.
2. Memperoleh
kepuasan dari usahanya.
3. Merasa lebih
puas memberi daripada menerima.
4. Terlibat
dalam tindakan saling tolong-menolong dan saling memuaskan.
5. Menerima
kekecewaan sebagai pelajaran untuk masa depan.
6. Mengarahkan
perasaan bermusuhan ke arah penyelesaian yang kreatif dan konstruktif.
7. Memiliki kemampuan untuk mencintai dan merasakan kasih sayang.
Menurut Abraham Maslow, seseorang
yang sehat jiwa memiliki persepsi yang akurat terhadap realitas, serta menerima
diri sendiri, oranglain, dan lingkungan. Bersikap spontan, sederhana dan wajar
(Rasmun, 2001). Manifestasi jiwa yang sehat menurut Maslow dan Mittlement,
1963; Notosoedirjo, 2005, jika seseorang mampu self-actualization sebagai
puncak kebutuhan dari teori hierarki kebutuhan. Secara lengkap criteria sehat
jiwa menurut Maslow sebagai berikut:
1. Adequate feeling of security
Rasa aman yang memadai dalam hubungannya dengan pekerjaan, social, dan keluarganya.
2. Adequate self-evaluation
Kemampuan menilai diri sendiri yang baik melibatkan memiliki harga diri yang memadai, merasa berguna, dan tidak terbebani oleh rasa bersalah berlebihan. Ini juga mencakup pemahaman yang baik tentang aspek sosial dan personal yang dapat diterima oleh masyarakat. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki kemampuan ini merasa percaya diri, memiliki nilai diri yang positif, merasa bermanfaat, dan mampu berinteraksi secara baik dengan orang lain tanpa merasa terlalu bersalah.
3. Adequate spontanity and emotionality
Memiliki spontanitas dan perasaan yang cukup dalam berinteraksi dengan orang lain melibatkan kemampuan membentuk ikatan emosional yang kuat, seperti persahabatan dan cinta. Seseorang yang memiliki kemampuan ini dapat mengekspresikan ketidaksetujuan dengan tegas namun tetap dapat menjaga kontrol diri. Mereka juga mampu memahami dan berbagi perasaan dengan orang lain, menciptakan koneksi emosional yang mendalam. Selain itu, kemampuan untuk menyenangi diri sendiri dan tertawa merupakan bagian penting dari keseimbangan emosional, menunjukkan kebahagiaan dan kepuasan dalam diri sendiri.
4. Efficient contact with reality
Memiliki kontak efisien dengan realitas berarti seseorang tidak terlalu banyak berfantasi, bisa melihat dunia secara jujur dan luas, dapat mengatasi masalah sehari-hari, dan siap berubah jika situasinya tidak dapat diubah.
5. Adequate bodily desire and
ability to gratify them
Keinginan jasmani yang cukup dan kemampuan untuk memuaskan melibatkan sikap yang sehat terhadap fungsi tubuh. Ini mencakup kemampuan untuk merasakan kebahagiaan dari aktivitas fisik seperti makan, tidur, dan pulih dari kelelahan. Kehidupan seksual yang wajar tanpa rasa takut atau konflik, kemampuan untuk bekerja, dan ketiadaan kebutuhan yang berlebihan juga menjadi bagian dari gambaran ini. Secara sederhana, ini mencerminkan keseimbangan dan kepuasan dalam aspek jasmani dan seksual, serta kemampuan untuk menjalani kehidupan sehari-hari tanpa kebutuhan yang berlebihan.
6. Adequate self-knowledge
Mempunyai pengetahuan diri yang
cukup melibatkan pemahaman tentang motif, keinginan, tujuan, ambisi, hambatan,
kompensasi, pembelaan, perasaan rendah diri, dan aspek-aspek lainnya. Ini juga
mencakup penilaian diri yang realistis terhadap kelebihan dan kekurangan diri
sendiri. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki pengetahuan diri yang memadai
dapat mengenali dengan baik apa yang mendorongnya, apa yang diinginkannya,
serta melihat secara jujur kelebihan dan kekurangannya. Pengetahuan diri yang
baik juga mencakup pemahaman tentang bagaimana seseorang merespon hambatan dan
tantangan, serta kemampuan untuk menggunakan mekanisme koping yang sehat.
7. Integration and concistency of personality
Memiliki kepribadian yang utuh
dan konsisten mencakup perkembangan yang baik, minat yang beragam, moral dan
hati nurani yang sejalan dengan kelompoknya, kemampuan berkonsentrasi, serta
keberadaan sedikit konflik besar dalam kepribadiannya. Secara sederhana, ini
menggambarkan kepribadian yang kokoh, berkembang dengan baik, sesuai dengan
norma kelompok, fokus, dan minim konflik besar.
8. Adequate life goal
Memiliki tujuan hidup yang sesuai
dan dapat dicapai, mempunyai usaha yang cukup dan tekun mencapai tujuan, serta
tujuan itu bersifat baik untuk diri sendiri dan masyarakat.
9. Ability to learn from experience
Kemampuan untuk belajar dari pengalaman melibatkan tidak hanya penerimaan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga elastisitas dan kemauan untuk menerima segala sesuatu yang menyenangkan maupun menyakitkan. Dengan kata lain, ini mencakup kemampuan untuk mengambil pelajaran dari berbagai situasi, baik yang menyenangkan maupun yang menantang, serta bersedia untuk berkembang dan beradaptasi seiring waktu.
10. Ability to satisfaction the
requirements of the group
Kemampuan memenuhi harapan kelompok melibatkan adaptasi agar tidak terlalu mirip dengan anggota penting lainnya, mengerti norma kelompok, mengendalikan dorongan yang tidak diterima, dan menunjukkan usaha dalam nilai-nilai seperti ambisi, ketepatan, persahabatan, tanggung jawab, dan kesetiaan.
11. Adequate emancipation from the group or culture
Mempunyai emansipasi yang memadai dari kelompok atau budaya berarti melihat hal-hal dengan pandangan independen, tidak terpaku pada penilaian kelompok, tidak perlu selalu mencari persetujuan kelompok, dan bersikap toleran terhadap perbedaan budaya.
Keadaan sehat atau sakit jiwa
dapat dinilai dari keefektifan fungsi perilaku, melibatkan:
1. Prestasi Kerja: Bagaimana
kinerja individu, baik dalam proses maupun hasilnya. Individu yang sehat jiwa
cenderung menunjukkan prestasi kerja yang baik.
2. Hubungan Interpersonal: Bagaimana
individu berinteraksi dengan orang lain di lingkungan sekitarnya. Hubungan
interpersonal yang positif dapat menjadi indikator kesehatan jiwa.
3. Penggunaan Waktu Senggang: Bagaimana
individu menggunakan waktu luangnya. Individu yang sehat jiwa cenderung
menggunakan waktu senggang untuk kegiatan yang produktif dan positif,
memberikan dampak baik bagi dirinya dan lingkungannya.
C. Cara Meningkatkan Kesehatan
Jiwa
Untuk meningkatkan kesehatan jiwa dapat melibatkan:
- Asertif Jujur: Berbicara dengan jujur tanpa menyakiti
perasaan orang lain.
- Solitude Introspeksi: Meluangkan waktu sendiri untuk merenung,
berpikir, dan mengoreksi diri.
- Kesehatan Fisik Umum: Menjaga kesehatan fisik melalui olahraga,
nutrisi sehat, dan periksa kesehatan rutin.
- Mekanisme Koping: Melatih mekanisme koping positif (konstruktif)
dan mengurangi penggunaan mekanisme koping negatif (destruktif).
Melalui langkah-langkah ini, seseorang dapat membangun kesehatan jiwa yang baik dengan berkomunikasi secara positif, merenungkan diri, menjaga kesehatan fisik, dan mengelola stres dengan cara yang positif.
D. Sasaran dalam Kesehatan Jiwa
Dalam konteks kesehatan jiwa,
masyarakat menjadi sasaran utama, dan kelompok masyarakat dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
- Masyarakat Umum: Kelompok masyarakat yang secara umum sehat dan tidak berada dalam risiko sakit jiwa. Anggota kelompok ini bervariasi dalam hal demografi seperti usia, jenis kelamin, ras, dan status sosial ekonomi.
- Masyarakat dalam Kelompok Resiko: Kelompok masyarakat yang berada dalam situasi atau lingkungan yang memiliki risiko relatif tinggi untuk mengalami gangguan kesehatan jiwa. Kelompok ini dapat dibedakan berdasarkan lingkungan ekologis, status demografi, dan faktor psikologis.
- Masyarakat yang Mengalami Gangguan: Kelompok masyarakat yang sedang mengalami gangguan kesehatan jiwa, baik itu di tingkat keluarga, masyarakat, kelompok, atau bahkan di rumah sakit.
- Masyarakat yang Mengalami Kecacatan: Kelompok masyarakat yang mengalami hambatan
atau kecacatan, dan perlu dukungan agar dapat berfungsi secara optimal dan
normal dalam masyarakat.
Dengan pemahaman ini, pendekatan
kesehatan jiwa dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kelompok
masyarakat untuk mendorong kesehatan jiwa yang lebih baik secara keseluruhan.
E. Ruang Lingkup Kesehatan Jiwa
Kesehatan
jiwa mempunyai ruang lingkup memelihara dan promosi kesehatan jiwa individu dan
masyarakat, serta prevensi dan perawatan terhadap penyakit dan kerusakan jiwa.
Secara garis besar ruang lingkup kesehatan jiwa sebagai berikut:
Ruang lingkup kesehatan jiwa
mencakup:
- Promosi Kesehatan Jiwa: Upaya untuk meningkatkan kesehatan jiwa secara umum, mengingat kesehatan jiwa bersifat kualitatif dan dapat ditingkatkan hingga mencapai tingkat optimal.
- Prevensi Primer: Langkah-langkah untuk mencegah timbulnya gangguan jiwa, bertujuan sebagai perlindungan agar gangguan jiwa dan sakit mental tidak terjadi.
- Prevensi Sekunder: Usaha dalam mendeteksi dini (early case detection) dan memberikan pengobatan yang tepat (prompt treatment) terhadap kasus gangguan jiwa. Tujuannya adalah mengurangi durasi gangguan dan mencegah terjadinya cacat pada individu yang mengalami sakit jiwa.
- Rehabilitasi (Prevensi Tersier): Upaya rehabilitasi yang dilakukan terhadap
individu yang mengalami gangguan jiwa. Bertujuan untuk mencegah disabilitas
atau ketidakmampuan, sehingga individu tersebut tidak mengalami kecacatan yang
bersifat menetap.
Azizah, L. M.,
Zainur, I. & Akbar, A., 2016. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. In: Teori dan
Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia Pustaka.