Konsep Dasar Demam Thypoid

Hadi M Assegaf
0

 Cerdas-yes!!- Demam tifoid atau yang lebih sering dikenal tipes merupakan penyakit akut yang disebabkan oleh bakteri Salmonella thyphi. Bakteri ini biasanya ditemukan di air atau makanan yang terkontaminasi. Bakteri ini juga dapat ditularkan melalui orang yang terinfeksi ke orang yang tidak mengidap penyakit tersebut, lalu bagaimana konsep dasar dari demam tifoid, mari kita simak bersama.


Ilustrasi: Bakteri Salmonella thyphi

A. Pengertian

Demam thypoid atau yang dikenal dengan sebutan tipes, merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri salmonella thypi, yang menyerang bagian saluran pencernaan manusia (Hulu, et al., 2020).

Zulkoni dalam Handu, (2018) menjelaskan bahwa Demam tifoid atau typhoid fever merupakan penyakit infeksi akut pada saluran pencernaan tepatnya pada usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia dengan angka kejadian yang masih tinggi serta merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan dan sanitasi yang buruk

Demam thypoid merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar kebersihan industrri pengolahan makanan yang masih rendah. Penularan penyakit ini hampir selalu melalui makanan dan minuman yang terkontaminas (Saputra, et al., 2017).

B. Etiologi

Lestari Tatik dalam Handu, (2018) mengenukakan penyebab utama demam thypoid ini adalah bakteri samonella typhi, Bakteri salmonella typhi adalah berupa basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidakberspora, dan mempunyai tiga macam antigen yaitu antigen O (somatik yang terdiri atas zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flegella), dan antigen VI. Dalam serum penderita, terdapatzat (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut. Kuman tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15-41 derajat Celsius (optimum 37 derajat celsius) dan pH pertumbuhan 6-8. Faktor pencetus lainnya adalah lingkungan, sistem imun yang rendah, feses, urin, makanan/minuman yang terkontaminasi,formalitas dan lain sebagainya.

C. Manifestasi Klinik

Masa inkubasi salmonella typhi antara 3-12 hari, tergantung dari status kesehatan dan kekebalan tubuh penderita. Pada fase awal penyakit, penederita demam tifoid selalu melaporkan mengalami demam terasa lebih tinggi pada sore hari atau malam hari, dibandingkan dengan pagi harinya. Ada juga yang menyebutkan karakteristik dari penyakit ini dengan istilah "Step ladder temperature chart", yang ditandai dengan demam yang naik bertahap tiap hari, mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama kemudian bertahan tinggi, dan selanjutnya akan turun secara perlahan pada minggu ke empat bila ridak terdapat fokus infeksi. Gejala lalin yang dapat menyertai demam tifoid adalah malaise, pusing, batuk, dam penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik dapat di temukan adanya lidah kotor atau tampak putih dibagian tengah dan kemerahan di bagian tepi dan ujung, hepatomegali, splenomegali, distensi abdominal, tenderness, bradikardia relatif, hingga ruam makulopapular berwarna merah muda berdiameter 2-3 mm yang disebut dengan rose spot. (hendarta, 2011)

Baca Juga : Asuhan Keperawatan pada Pasien Thypoid


D. Patofisiologi

Lestari Tatik dalam Handu, (2018). Proses perjalanan penyakit kuman masuk ke dalam mulut melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh salmonella (biasanya ˃10.000 basil kuman). Sebagian kuman dapat dimusnahkan oleh asam hcl lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Jika respon imunitas humoral mukosa (igA) usus kurang baik, maka basil salmonella akan menembus selsel epitel (sel m) dan selanjutnya menuju lamina propia dan berkembang 9 biak di jaringan limfoid plak peyeri di ileum distal dan kelenjar getah bening mesenterika. (Lestari Titik, 2016). Jaringan limfoid plak peyeri dan kelenjar getah bening mesenterika mengalami hiperplasia. Basil tersebut masuk ke aliran darah (bakterimia) melalui duktus thoracicus dan menyebar ke seluruh organ retikulo endotalial tubuh, terutama hati, sumsum tulang, dan limfa melalui sirkulasi portal dari usus. Hati membesar (hepatomegali) dengan infiltasi limfosit, zat plasma, dan sel mononuclear. Terdapat juga nekrosis fokal dan pembesaran limfa (splenomegali). Di organ ini, kuman salmonella thhypi berkembang biak dan masuk sirkulasi darah lagi, sehingga mengakibatkan bakterimia ke dua yang disertai tanda dan gejala infeksi sistemik (demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler dan gangguan mental koagulasi). Perdarahan saluran cerna terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak peyeriyang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia. Proses patologis ini dapat berlangsung hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan mengakibatkan perforasi. Endotoksin basil menempel di reseptor sel endotel kapiler dan dapat mengakibatkan komplikasi, seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler, pernafasan, dan gangguan organ lainnya. Pada minggu pertama timbulnya penyakit, terjadi hiperplasia plak peyeri, di susul kembali, terjadi nekrosis pada minggu ke dua dan ulserasi plak peyeri 10 pada mingu ke tiga. selanjutnya, dalam minggu ke empat akan terjadi proses penyembuhan ulkus dengan meninggalkan sikatriks (jaringan parut). Sedangkan penularan salmonella thypi dapat di tularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat) dan melalui Feses.


E. Pathway

Widodo Djoko, dalam Safii  2012 

Ilustrasi: Pohon Masalah
F. Komplikasi

  1. Komplikasi intestinal : perdarahan usus, perporasi usus dan ilius paralitik

  2. Komplikasi extra intestinal

    a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis, tromboplebitis

    b. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis

    c. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia dan syndroma uremia hemolitik

    d. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, dan kolesistitis.

    e. Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis

    f. Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis

    g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meninggiusmus, meningitis, polineuritis perifer, sindroma guillain bare dan sindroma katatonia (Lestari Tatik, dalam Handu 2018)

G. Pemeriksaan Penunjang

  1. Pemeriksaan Darah Tepi

    Dari pemeriksaan gambaran darah tepi pada pasien demam tifoid di dapat gambaran leukopenia sekitar 25% kasus, limfositosis relatif, monositosis dan trombositopenia ringan. Bila ditemukan gambaran penurunan hemoglobin pada pemeriksaan darah di minggu ke 3-4, perlu dicurigai adanya komplikasi perdarahan intra abdomen

  2. Tes Serologis Widal

    Pemeriksaan widal adalah pemeriksaan serologis untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen O (permukaan) dan H (flagellar) salmonella. Titer antibodi yang menjadi rujukan tidak sama untuk setiap daerah endemik, umumnya titer O 1:320 dapat menjadi penunjang kuat diagnosis demam tifoid. Penegakan diagnosis demam tifoid dapat dilakukan bila terjadi peningkatan titer hingga empat kali lipat dengan jeda pengambilan spesimen sekitar 5-7 hari. Pemeriksaan widal saat ini dianggap tidak tetap sebagai alat diagnostik demam tifoid karena angka negatif palsu dan positif palsu yang tinggi

  3. Kultur Darah

    Kultur darah merupakan standar utama yang direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) dalam mendiagnosis demam tifoid. Sampel darah sebaiknya diambil pada fase bakteremia sekunder. Efikasi kultur akan meningkat dengan semakin banyaknya sampel yang diambil, 
    Namun perlu menjadi perhatian sekitar 30% hingga 50% dari hasil kultur negatif adalah negatif palsu. Faktor-faktor yang berperan antara lain adalah teknik pemeriksaan dan waktu pemeriksaan. Selain itu kelemahan dari pemeriksaan kultur adalah waktu pemeriksaan yang membutuhkan waktu yang lama (sekitar 24-48 jam) sehingga tidak dapat dilakukan penegakkan diagnosis demam tifoid dihari yang sama.

  4. Kultur Feses

    Kultur feses tidak terlalu efektif pada fase bakterimia demam tifoid. Kultur feses lebih bermanfaaat pada diagnosis demam tifoid pada minggu kedua dan ketiga, selain itu kultur feses positif pada pasien demam tifoid hanya ditemukan pada 37% kasus yang telah menerima terapi antibiotik. Derajat sensitivitas kultur feses bergantung pada jumlah sampel feses dan durasi penyakit saat sampel diambil. Namun, kultur feses sangat bermanfaat dalam mendeteksi karier kronik Salmonella typhi.

  5. Kultur Sumsum tulang

    Sensitivitas pemeriksaan kultur sumsum tulang dalam mendiagnosis demam tifoid sangat tinggi yaitu sekitar 90% dan bahkan kultur sumsum tulang positif ditemukan pada lebih dari 50% kasus demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotik. Namun pemeriksaan ini memiliki kelemahan yaitu sangat mahal dan bersifat invasif sehingga pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan untuk menegakkan diagnosa demam tifoid.

  6. Polymerase Chain Reaction (PCR)

    Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) tidak dianjurkan sebagai metode pemeriksaan demam tifoid karena sensitivitasnya yang rendah dan pemeriksaan ini juga memiliki biaya yang mahal.

  7. Rapid Diagnostic Test (RDT)

    Pemeriksaan rapid diagnostic test seperti pemeriksaan TUBEX, Typhidot, Typhidot‐M, Test‐it Typhoid dan jenis pemeriksaan RDT lainnya dibuat agar mudah dipakai, lebih murah dan memberikan hasil diagnostik lebih cepat untuk menegakkan diagnosa dan pembuatan keputusan dalam skenario sehari-hari tanpa perlu hasil kultur. TUBEX memiliki rata-rata sensitivitas 78% dan spesifisitas 87%. Alat RDT lain seperti Typhidot, Typhidot‐M, dan TyphiRapid‐Tr02, memiliki rata-rata sensitivitas 84% dan spesifisitas 79%.

  8. Pemeriksaan lainnya

    Pemeriksaan biopsi histologi dari lesi kulit “rose spots” pada pasien demam tifoid dapat memberikan hasil positif hingga 63% walaupun sebelumnya pasien telah menerima terapi antibiotik. Pemeriksaan lain yang juga dapat dilakukan adalah pemeriksaan kultur urin yang umumnya akan ditemukan positif pada minggu ke 2-3 sakit. Pemeriksaan elektrokardiogram, ultrasonografi, enzim hati, analisis urin dan rontgen dapat dilakukan sebagai pemeriksaan tambahan dan membantu penegakan diagnosa pada kondisi demam tifoid dengan komplikasi (Ramanda, n.d.)

H. Penatalaksanaan

Berdasarkan Lestari Titik dalam Handu 2018 , penatalaksanaan pada demam typhoid yaitu:

  1. Perawatan
    a. Klien diistirahatkan 7 hari sampai 14 hari untuk mencegah komplikasi perdarahan usus
    b. Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila ada komplikasi perdarahan

  2. Diet
    a. Diet yang sesuai, cukup kalori dan tinggi protein
    b. Pada penderita yang akut dapat diberikan bubur saring
    c. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim
    d. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari

  3. Obat-obatan
    Antibiotika umum digunakan untuk mengatasi penyakit typhoid. Waktu penyembuhan bisa makan waktu 2 minggu hingga satu bulan. Antibiotika, seperti ampicilin, kloramfenikol, trimethoprim sulfamethoxazole dan ciproloxacin sering digunakan untuk merawat demam typhoid di negara-negara barat, adapun obat-obatan antibiotik beserta dosisnya adalah:

    a. Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari.

    b. Bilamana terdapat kontra indikasi pemberian kloramfenikol, diberikan ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam3- 4 kali. Pemberian intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari

    c. Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/ hari, terbagi dalam3-4 kali. Pemberian oral/intravena selama 21 hari

    d. Kotrimoksasol dengan dosis 8 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral, selama 14 hari

    e. Pada kasus berat, dapat diberi ceftriakson dengan dosis 50 m/kgBB/hari dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kgBB/hari, sehari sekali, intravena selama 5-7 hari.

    f. Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin, dan fluoroquinolon



Handu, 2018 juga mengemukakan bahwa apabila tak terawat, demam typhoid dapat berlangsung selama tiga minggu sampai sebulan. Kematian terjadi antara 10% dan 30 % dari kasus yang tidak terawat. Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan manifestasi nerologik menonjol, diberi deksamethason dosis tinggi dengan dosis awal 3 mg/kgBB, intravena perlahan (selama 30 menit). Kemudian disusul pemberian dengan dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang waktu 6 sampai 7 kali pemberian. Tatalaksanaan bedah dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus.

Daftar Pustaka: 

Handu, k., 2018. Asuhan keperawatan pada pasien anak dengan demam typhoid di rumah sakit samarinda medika citra, s.l.: poltekkes.

Hendarta, d. S., 2011. Demam tifoid. [online] available at: https://fk.uii.ac.id/demam-tifoid/#:~:text=manifestasi%20klinik%20dan%20temuan%20fisik&text=gejala%20lain%20yang%20dapat%20menyertai,hingga%20delirium%20dan%20penurunan%20kesadaran. [accessed 20 februari 2023].

Hulu, v. T. Et al., 2020. Epidemiologi penyakit menular : riwayar, penularan dan pencegahan. S.l.:yayasan kita menulis.

Ramanda, r., n.d. Diagnosis demam tifoid. [online]  available at: https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-infeksi/tifoid/diagnosis [accessed 20 februari 2023].

Safii, l. I., 2012. Asuhan keperawatan pada tn.s dengan demam typhoid di bangsal sofa rs pku muhammadiyah surakarta, surakarta: universitas muhammadiyah surakarta.

Saputra, r. K., majid, r. & bahar, h., 2017. Hubungan pengetahuan, sikap dan kebiasaan makan dengan gejala demam thypoid pada mahasiswa fakultas kesehatan masyarakat universitas halu oleo. Jimkesmas, 02(06), pp. 01-07.

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)